21 C
Lombok
Rabu, Februari 12, 2025

Buy now

Kepala BPN: Persoalan Hukum Sering Terjadi Karena Adanya 3 Peta Kawasan Hutan Yang Saling Tindih

Lombok timur, Suara selaparang– Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Lombok Timur, I Nyoman Gde Giri, saat dikonfirmasi terkait kerapnya terjadi persoalan hukum tentang keabsahan sertifikat hak milik atas tanah di sekitaran kawasan hutan lindung, menyatakan jika persoalan hukum semacam itu terjadi karena adanya 3 peta kawasan hutan yang tumpang tindih. 

Adapun terang Gde, ketiga peta itu adalah peta early warning layanan KKP yang didapatkan dari Pusdatin BPN Pusat, kemudian peta rekomendasi yang dikeluarkan oleh BPKH Wilayah 8 Denpasar dan peta tentang batas kawasan hutan yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal (Dirjen) Planalogi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI.

“Ketiga peta itu sering tidak sinkron dan membuat kami BPN selaku pelaksana menjadi bingung,” katanya terheran, Senin (19/04/2021) sembari menyebut jika ketiga peta itu dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup.

Masih kata dia, kerap ditemukan jika ada masyarakat melakukan permohonan penerbitan sertifikat kepada BPN dengan dasar rekomendasi sesuai salah satu peta, tapi ketika Petugas BPN melakukan plotting (pengajuan keabsahan kepada pemohon, red) ternyata objek tersebut terletak di dalam kawasan hutan, sehingga BPN tidak bisa menerbitkan sertifikat. 

“Di Sekaroh juga ada perusahan mengusulkan, tapi setelah diplotting oleh kami berdasarkan peta dari Dirjen Planologi, ternyata kawasan itu di dalam,” ucapnya. 

Disinggung terkait alasan BPN sendiri yang belum membatalkan salah satu sertifikat di kawasan hutan lindung Sekaroh (M 074, red), Gde menyatakan jika BPN belum bisa membatalkan, sebab di objek yang disertifikatkan itu terdapat 2 putusan peradilan yang berbeda, yang pihaknya harus hormati. 

“Ada 2 putusan peradilan yang harus kami hormati, pertama Pengadilan Tipikor yang memutuskan jika sertifikat itu harus dibatalkan, dan ada gugatan dari pemilik sertifikat kepada BPN ke Pengadilan PTUN, di mana putusannya mengatakan jika lokasi objek itu ada di luar kawasan hutan, sehingga tidak bisa dibatalkan,” bebernya. 

Atas hal itu, kata Gde pihaknya sempat mengikuti rapat di Mataram yang dihadiri oleh Pejabat Kantor Wilayah (Kanwil) BPN NTB, Kejaksaan Negeri (Kejari) Lombok Timur dan pejabat terkait, yang mempertanyakan kenapa BPN belum mencabut sertifikat. 

Lalu katanya, selain alasan 2 putusan peradilan itu, diakuinya BPN juga menjabarkan, jika dalam kasus seperti itu, biasanya BPN akan meminta fatwa hukum dari Mahkamah Agung, tetapi peserta rapat saat itu diakuinya, tidak menerima opsi itu, dan menyepakati jika BPN harus meminta pendapat hukum dari Kejari Lombok Timur. 

“Biasanya kita minta fatwa MA, tapi karena mungkin alasan waktu yang lama, atau apa saya tidak tahu, disepakati kami diminta pendapat hukum dari Kejari,” cetusnya. 

Menindaklanjuti kesepakatan itu, dikatakan Gde, pihaknya sudah melayangkan surat ke Kejari Lombok Timur untuk meminta pendapat hukum, dan telah ditanggapi. Di mana Kejari meminta BPN untuk melakukan pemaparan atas kasus itu di Kejari, guna ditentukan pandangan dan pendapat hukumnya. 

“Surat kami sudah dibalas, dan kami diminta untuk melakukan pemaparan di Kejari. Kami juga sudah buat resume tentang itu, tinggal kami koordinasi dengan Kejari kapan bisa dilakukan. Mungkin itu dasar pendapat hukumnya,” ungkapnya sembari menyebut jika yang berhak membatalkan sertifikat adalah Kanwil BPN, bukan pihaknya. 

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan
- Advertisement -

Latest Articles