LOMBOK TIMUR, Suara Selaparang– Obyek Wisata Desa Adat Penglipuran,yang berada diKelurahan Kubu, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali. Berada didataran tinggi berjarak 53,3 kilometer dan dapat ditempuh dalam perjalanan sekita 1,5 jam,dari Ibu Kota Provinsi Bali, Denpasar.
Menurut Nengah Moneng,Ketua Pengelola Desa Wisata Penglipuran, yang menjadi ikon destinasi wisata tersebut adalah tata ruang Desa dengan bangunan-bangunan trasional yang dimiliki disetiap pekarangan.
“Jumlah penduduk yang ada di Desa wisata Penglipuran ini 240 KK,dengan jumlah penduduk 1.111 orang dan atap rumah tradisional kami disini rata-rata pakai bambu,”ungkap Moneng.
Nengah Moneng juga menjelaskan, konsep tata ruang di Desa Wisata Penglipuran yakni Tri Mandala. Yang berarti tiga zona. Jika ditarik, paparnya, maka filosofinya yakni Tri Hita Karana.
Dimana ada tiga bagian penting dalam konsep tata ruang itu. Yakni bangunan paling utama yang letaknya paling tinggi diset Prahiyangan, tempat suci. Di tempat itu, terdapat pura dan hutan bambu dan kayu seluas 45 hektar.
Bangunan kedua disebut Pawongan, yakni pemukiman warga,luasnya 9 hektare, yang dihuni oleh 240 kepala keluarga (KK), dan warga yang tinggal di lokasi itu tak boleh memasuki kendaraan ke areal pemukiman tersebut.
Bangunan ketiga disebut Palemahan yang berada paling bawah, berpa bangunan fasilitas umum dan yang lainnya, luasnya mencapai 9 hektar. Selebihnya kawasan itu semuanya lahan pertanian.
“Jadi luas keseluruhan lokasi Desa wisata Penglipuran ini 112 hektar. Mayoritas pekerjaan masyarakatnya petani, tapi lahannya tak begitu luas,” ujarnya.
Destinasi wisata Penglipuran di kelola oleh desa adat. Sehingga hasil dari pengelolaan lokasi itu diperuntukan untuk subsidi bangunan bagi masyarakat dan saat upacara keagamaan atau ritual tradisi setempat.
“Setiap masyarakat, mendapatkan subsidi Rp 5 juta bagi mereka yang memperbaiki rumah adat jika mengalami kerusakan. Namun subsidi itu khusus untuk bangunan tradisional,”tegasnya.
Dicontohkannya, jika dulu ketika ada upacara adat warga setempat urunan membiayai gelaran itu. Tapi sekarang tidak lagi lantaran sudah ada kas tersendiri untuk itu.
Di Desa Wisata Penglipuran memberlakukan aturan tidak boleh warganya melakukan Poligami (Memiliki Isri Dua-red). Bagi warga yang melanggar aturan tersebut, maka akan dipindahkan ke lokasi khusus yang disebut “Komplek Karang Memadu”.
Keunikan lain dari desa wisata ini ialah, perlakuan terhadap orang meninggal, dalam pelaksanaan upacara Ngaben. Di tempat ini, disediakan tiga lokasi kuburan yang berbeda.
Bagi yang meninggal karena salah pati dan ulah pati seperti bunuh diri atau lantaran kecelakaan akan menempati kompleks yang telah disediakan secara khusus.
Bagi yang meninggal dalam usia anak-anak atau belum menikah, juga memiliki lokasi kuburan tersendiri. Begitu pun bagi yang tua maupun sudah berkeluarga disediakan tempat tersendiri.
Perbedaan lain juga yakni posisi peletakan orang yang meninggal. Yaitu kepala menghadap ke barat, ke arah matahari terbenam.
“Bedanya jika mayatnya perempuan, posisi menengadah melambangkannya sebagai ibu pertiwi. Sedangkan pria, posisi tengkurep melambangkan bapak angkasa,”tuturnya.
Perbedaan yang lainnya juga terletak pada upacara Ngaben-nya. Jika ditempat lain mengenakan bade (tempat membakar jenazah yang menyerupai rumah). Namun di tempat itu tidak menggunakan hal tersebut.
Di lokasi itu juga, tidak ada melakukan pembakaran mayat dan tidak ada penggalian mayat seperti upacara ngaben pada umumnya.
Keunikan lain yang dapat ditemukan di Desa Penglipuran yakni tak terdapatnya kasta. Kalau pun ada itu merupakan warga luar yang nikah ke tempat itu.
“Memang kita beda dan itu membuatnya unik,tidak ada kasta,makanya tidak ada Anak Agung, tidak ada Gusti disini kalaupun ada itu pasti karena dia kawin kesini,” ucapnya.
Dirinya menerangkan, desa wisata Penglipuran ownernya atau pemiliknya ialah desa adat. Bukan desa yang tercantum dalam UU tentang desa.
Namun desa yang dimaksud terbentuk merujuk pada peraturan daerah tentang Desa Adat, khususnya di Kabupaten Bangli. Karena itu, Desa Penglipuran secara administratif Maka terletak di Kelurahan Kubu, Bangli. Sehingga disini tidak ada Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
“Jadi kalau ditanya itu, kami tidak dapat dana dari BUMDes, karena kita ini kelurahan,” bebernya.
Kendati demikian, menurut Nengah Moneng yang merupakan pensiunan PNS Dikbud Bangli itu, memaparkan omset Desa Wisata Penglipuran sebelum Covid-19, dari harga tiket masuk saja mencapai Rp.4,9 Miliat per tahun.
“Sebelum terjadi Pandemi Covid-19 atau tahun 2019 contohnya, omset keselurahan yang berasal dari pendapatan penjualan souvenir, homestay, tiketing dan dari atraksi paket wisata, bisa kami setor ke daerah Rp 21 miliar pertahun, dari hasil tersebut nantinya kami dapat bagian dari Pemda 40% dan 60% untuk Pemda,”katanya.
Tapi mulai tahun 2021 ini, terjadi perubahan pembagian hasil dari kepariwisataan itu. Yakni Desa Adat mendapat 60 dan pemerintah daerah 40 persen.
Nengah Moneng juga menambahkan,Desa wisata Penglipuran baru dibuka per satu Januari 2021 ini akibat Covid-19. Dengan mendapatkan izin penerapan CHS yaitu, Cleanliness, Health dan Safety.
“Saat ini, pengunjung per harinya mencapai rata-rata 100 samapi 150 orang perharinya, terkecuali hari libur, seperti Hari Raya Idul Fitri, bisa mencapai 2000 wisatawan per harinya. Tapi saya hitung rata-rata 100 sampai 150 orang, dikalikan harga tiket masuk Rp.25.000 perorang. maka itulah pemasukan kami per hari untuk kondisi saat ini,”tutupnya.