Lombok Timur, Suara selaparang– Dalam pembuatan Peraturan Desa (Perdes) tentang pernikahan dini, diharapkan tidak adanya copy paste antar desa-desa yang lainnya.
Kepala Dinas Badan Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (BP3AKB) H. Ahmad, mengungkapkan, seluruh kecamatan harus mengumpulkan semua pihak kepala desa dan stek holder yang lainnya. Hal itu untuk membecirakan Perdes agar bisa terbentuk dan bisa berjalan.
“Saya berharap Perdes itu tidak hanya copy paste tapi iplementasinya nggak ada. Sehingga kami akan mencoba mengusahan melalui donatur atau lembaga pemerhati untuk melakukan pendampingan dimasing-masing desa,” terang Ahmat. Selasa, (16/3).
Dilanjutkannya, Perdes yang akan diterbitkan oleh semua desa diharapkan tidak akan bertentangan dengan Peraturan Bupati (Perbup) atau Peraturan Daerah (Perda) yang sudah ada
“Kami menekankan dalam Perdes tersebut tidak ada sanksi hukum, tapi Perdes itu berikan sanksi denda yang barangkali harus ditinggikan. Kalau bisa 10 Juta, jangan satu atau dua Juta,” katanya.
Dengan dinaikkan sanksi denda tersebut, sambungnya, hal tersebut mampu memberikan efek jera kepada masyarakat agar tidak melanggar Perdes yang sudah ditetapkan.
Adapun untuk jumlah nilai sanksi yang akan ditetapkan tergantung ditiap-tiap desa. Pasalnya, setiap desa memiliki kearifan lokal, dan setiap desa tidak harus memberikan denda berupa uang.
“Mungkin saja sanksi sosial akan diberikan, barangkali sanksi yang tidak pernah ada didesa itu, mungkin itu yang dianggap paling ampuh,” tutupnya
Sementara itu, Direktur Konsepsi Taqiyun menyampaikan, bagi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau akademisi diharapkan mampu mendampingi desa untuk membuat Perdes itu sendiri.
“Dalam konteks ini (pembuatan Perdes – red) supaya efektif, perdes tidak harus seragam. Kita menyadari juga bahwa kondisi kita beragam,” katanya
Dilanjutkannya, kehadiran Perdes harus digali terlebih dahulu. Pasalnya, dalam pembuatan hukum, harus punya landasan sosiologis yang jelas, sehingga hukum yang dibuat tersebut tidak mati.
“Jadi harus sesuai dengan yang sudah dipraktikkan oleh masyarakat di desa itu. Sehingga tidak asal copy paste, padahal peta persoalannya berbeda,” ungkapnya.